GAK ADA YANG SIA-SIA SOB!!
Jika kamu berbuat baik, sebetulnya kamu berbuat baik
untuk dirimu. Dan jika kamu berbuat buruk, berarti kamu telah berbuat
buruk atas dirimu pula.” (Q.S Al Isra : 07)
Laporkan iklan ?
RASULULLAH mempunyai kebiasaan rutin. Hari itu, ada salah seorangnya
yang meninggal dunia. Seperti biasanya, ketika ada salah seorang
sahabatnya meninggal dunia, beliau pasti akan menyempatkan diri untuk
mengantarkan jenazahnya sampai ke kuburan. Tidak cukup sampai di situ,
pada saat pulangnya, disempatkannya pula singgah untuk menghibur dan
menenangkan keluarga almarhum yang ditinggalkan supaya tetap bersabar
dan tawakal menerima musibah itu. Begitu pun terhadap keluarga
sahabatnya itu.
Ketika sampai di rumah almarhum, Rasulullah bertanya kepada istrinya,
“Tidakkah almarhum suamimu mengucapkan wasiat ataulah sesuatu sebelum ia
wafat?”
Istrinya yang masih diliputi kesedihan hanya tertunduk. Isak tangis
masih sesekali terdengar dari dirinya. “Aku mendengar ia mengatakan
sesuatu di antara dengkur nafasnya yang tersengal. Ketika itu ia tengah
menjelang ajal, ya Rasulullah.”
Rasulullah mangut-mangut. “Apa yang dikatakannya gerangan?”
“Aku tidak tahu, ya Rasulullah. Maksudku, aku tidak mengerti apakah
ucapannya itu sekadar rintihan sebelum mati, ataukah pekikan pedih
karena dahsyatnya sakaratul maut. Cuma, ucapannya memang sulit dipahami
lantaran merupakan kalimat yang terpotong-potong.”
“Bagaimana bunyinya?” desak Rasulullah.
Istri yang setia itu menjawab, sambil masih terisak. “Suamiku mengatakan
‘Andaikata lebih panjang lagi…. Andaikata yang masih baru… Andaikata
semuanya….’. Hanya itulah yang tertangkap sehingga aku dan keluargaku
bingung dibuatnya. Apakah perkataan-perkataan itu hanya igauan dalam
keadaan tidak sadar, ataukah pesan-pesan yang tidak selesai….”
Rasulullah tersenyum. Senyum Rasulullah itu membuat istri almarhum
sahabat menjadi keheranan. Kemudian, terdengar Rasulullah berbicara,
“Sungguh, apa yang diucapkan suamimu itu tidak keliru,” ujarnya. Beliau
menerawang sejenak. “Jika kalian semua mau tahu, biarlah aku ceritakan
kepada kalian agar tak lagi heran dan bingung.”
Sekarang, bukan hanya istri almarhum saja yang menghadapi Rasulullah.
Semua keluarga almarhum merubungi rasul akhir jaman itu. Ingin mendengar
apa gerangan sebenarnya yang terjadi.
“Kisahnya begini,” Rasulullah memulai. “Pada suatu hari, ia sedang
bergegas akan ke masjid untuk melaksanakan shalat Jumat. Di tengah jalan
ia berjumpa dengan dengan orang buta yang bertujuan sama—hendak pergi
ke masjid pula. Si buta itu sendirian tersaruk-saruk karena tidak ada
yang menuntunnya. Maka, dengan sabar dan telatennya, suamimu yang
membimbingnya hingga tiba di masjid. Tatkala hendak menghembuskan nafas
yang penghabisan, ia menyaksikan pahala amal salehnya itu. Lalu ia pun
berkata, ‘Andaikata lebih panjang lagi.’ Maksudnya adalah andaikata
jalan ke masjid itu lebih panjang lagi, pasti pahalanya akan jauh lebih
besar pula.”
Semua keluarga sekarang mengangguk-angguk kepalanya. Mulai mengerti
sebagian duduk perkara. “Terus, ucapan yang lainnya, ya Rasulullah?”
tanya sang istri yang semakin penasaran saja.
Nabi menarik nafas sejenak. Kemudian menjawab, “Adapun ucapannya yang
kedua dikatakannya tatkala ia melihat hasil perbuatannya yang lain.
Sebab pada hari berikutnya, waktu ia pergi ke masjid pagi-pagi sekali
untuk shalat Subuh, cuaca dingin sekali. Di tepi jalan ia melihat
seorang lelaki tua yang tengah duduk menggigil, hampir mati kedinginan.
Kebetulan suamimu membawa sebuah mantel baru, selain yang dipakainya.
Maka ia pun mencopot mantelnya yang lama yang tengah dikenakannya dan
diberikan kepada si lelaki tua itu. Menjelang saat-saat terakhirnya,
suamimu melihat balasan amal kebajikannya itu sehingga ia pun menyesal
dan berkata, ‘Coba, andaikata yang masih baru yang kuberikan kepadanya,
dan bukannya mantelku yang lama yang kuberikan kepadanya, pasti pahalaku
jauh lebih besar lagi.’ Itulah yang dikatakan suami selengkapnya.”
“Kemudian, ucapan yang ketiga, apa maksudnya ya Rasulullah?” tanya sang
istri lagi.
Dengan penuh kesabaran, Rasulullah menjelaskan, “Ingatkah engkau ketika
pada suatu waktu suamimu datang dalam keadaan sangat lapar dan meminta
disediakan makanan? Ketika itu engkau segera menghidangkan sepotong roti
yang telah dicampur daging dan mentega. Namun, tatkala hendak
dimakannya, tiba-tiba seorang musafir mengetuk pintu dan meminta
makanan. Suamimu lantas membagi rotinya menjadi dua potong. Yang sebelah
diberikannya kepada musafir itu. Dengan demikian, pada waktu suamimu
akan nazak, ia menyaksikan betapa besarnya pahala dari amalnya itu.
Karenanya, ia pun menyesal dan berkata, ‘Kalau aku tahu begini hasilnya,
musafir itu tidak akan kuberi hanya separuh. Sebab, andaikata semuanya
kuberikan kepadanya, sudah pasti pahalaku akan berlipat ganda pula.”
Sekarang, semua anggota keluarga mengerti. Mereka tak lagi risau dengan
apa yang telah terjadi kepada suami dan ayah mereka ketika menjelang
wafatnya tempo hari. Kelapangan telah ia dapatkan karena ia tidak
sungkan untuk menolong dan memberi. [sa/dari buku “Peri Hidup Nabi
& Para Sahabat” terbitan SPU Publisher]
Terimakasih anda telah membaca artikel tentang ikhlaslah dalam beramal. Jika ingin menduplikasi artikel ini diharapkan anda untuk mencantumkan link http://azzamdaily.blogspot.com/2015/03/ikhlaslah-dalam-beramal.html. Terimakasih atas perhatiannya.